Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Maria Kristin Yulianti

kamu pengunjung yg keberapa??

Sabtu, 21 Agustus 2010

Paul Scholes: The Ever-Ginger

Paul Scholes, sosok
legenda United yang tidak
kenal usia.
Evergreen adalah
tumbuhan yang tetap
berdaun sepanjang tahun.
Layaknya evergreen,
permainan Scholes kebal
pergantian musim, atau
lebih tepatnya, perubahan
umur.
Pada usianya yang akan
menginjak 36 bulan
November nanti, kaki
yang melambat seolah
tidak mempengaruhi
kemampuan 'Scholesy'
mendikte jalannya suatu
pertandingan dari lini
tengah. Umpan-
umpannya masih terukur
dalam hitungan cm,
tendangan-tendangannya
masih seakurat dan
sekeras peluru kendali,
dan tekelnya masih efektif
dalam memancing wasit
untuk meniup peluit.
Dengan segala
konsistensinya tersebut,
julukan Ever-Ginger
cocok diberikan untuk
Scholes, seorang rambut
merah (seperti jahe) yang
tetap merah sepanjang
karirnya, mulai dari
rambut, kualitas
permainannya, hingga
tentu saja warna
kebanggaan satu-satunya
klub yang dibelanya
selama ini.
Penam
pilannya yang begitu
dominan saat berjibaku
dengan tim juara
bertahan Chelsea di
Community Shield dan
pada pertandingan
pembuka BPL minggu lalu
melawan Newcastle
kembali menegaskan
keberadaannya di level
tertinggi. Kedua
kemenangan United
tersebut adalah buah
karyanya.
Gol pertama Valencia
pada duel melawan The
Blues dimulai dengan
umpan lambung majestik
sejauh 60 m yang tidak
hanya jatuh tepat di kaki
Rooney, tetapi membuat
striker andalan United
tersebut mampu menarik
keluar John Terry dan
Ashley Cole, sehingga
tercipta ruang bagi
Valencia untuk
menerobos masuk.
2 umpannya pada partai
perdana di Old Trafford
musim ini melawan The
Toon Army seolah
berkata dengan genit
kepada Berbatov dan
Giggs, "tendang aku".
Bola pun tak ayal,
bersarang di gawang
Newcastle.
Setelah 2 pertandingan
tersebut, rasanya ajaib
membayangkan bahwa
kata-kata "Mungkin ini
akan menjadi musimku
yang terakhir" keluar dari
mulut Scholes sendiri.
Tapi itulah Scholes: tidak
banyak bicara, obyektif,
rendah hati, dan fokus
pada sepakbola.
Tidak ada hingar-bingar
tentang kehidupan
pribadinya di tabloid, tidak
ada wajahnya di iklan-iklan
produk olahraga bernilai
jutaan pound. Pemain
kelahiran Salford tersebut
lebih suka bertutur
dengan kedua kakinya di
lapangan hijau, di bawah
panji klub yang dibela dan
didukungnya dari kecil.
Gabungan antara bakat
dan kerendahan hati inilah
yang telah menuai pujian
setinggi langit bagi
Scholes dari sesama
pemain bola. Tidak
tanggung-tanggung,
seorang Zinedine Zidane
pun pernah berkoar,
Scholes adalah pemain
terbaik yang pernah saya
hadapi. Ia pemain tengah
terbaik generasinya.
Malah, mungkin karena
sepakbola seolah bahasa
yang paling fasih bagi
Scholes-lah alasan kenapa
dirinya masih haus untuk
menang dan menggondol
piala sebanyak mungkin.
Usai pertandingan
melawan Newcastle, Sir
Alex Ferguson memuji
ambisi tersebut,
Seseorang yang bisa
bermain di usia seperti dia
(Scholes) dan masih
memiliki semangat
seperti dirinya pasti
dianugerahi dengan
sesuatu yang spesial
Tapi tentu saja, keprib
adian semata
tidak
mungkin
menjadi
satu-satunya
hal yang
membuat
Scholes
masih eksis sebagai
nukleus kreatif United
hingga saat ini. Selain
diberkahi teknik luar
biasa, yang rasanya sudah
cukup digambarkan
melalui cuplikan
kontribusi Scholes
melawan Chelsea dan
Newcastle diatas (serta
ratusan umpan dan gol
dari masa ke masa), perlu
disorot juga keputusan
Scholes untuk pensiun
dini dari timnas Inggris
pada usia 29 tahun,
setelah Euro 2004.
Setelah dipinggirkan ke
sisi kiri lapangan untuk
mengakomodasi duet lini
tengah paling
mengecewakan sepanjang
masa (Gerrard dan
Lampard), Scholes
memilih mengabadikan
seluruh waktunya untuk
klub. Hingga saat ini pun,
performa Inggris terus
mengecewakan di pentas
internasional. Tiadanya
'kreativitas' kerap
dikemukakan sebagai
salah satu alasan dibalik
penampilan buruk The
Three Lions, sebuah
kualitas yang jelas dimiliki
Scholes dari atas ke
bawah.
Capello pun menyadari
kelebihan tersebut dan
menawarkan spot di
timnas Inggris di Piala
Dunia 2010 kepada
Scholes, yang tentu saja
memilih untuk menolak
tawaran tersebut.
Rugi untuk timnas Inggris,
untung untuk United.
Karena tidak harus
bergelut bolak-balik
antara klub dengan
negara, khususnya untuk
pertandingan-
pertandingan
persahabatan yang
dibenci Fergie, Scholes
masih relatif bugar
dibandingkan pemain-
pemain lain yang
seumuran dirinya. Alhasil,
bersama kompatriot
sesama Fergie Fledlings-
nya, Ryan Giggs, Scholes
tetap kuat untuk beradu
di tengah deru debu Liga
Inggris untuk musimnya
yang ke-17. Fenomenal.
To be honest, tahun-
tahun yang tersisa bagi
Scholesy mungkin sudah
tidak banyak lagi, cepat
atau lambat pasti dirinya
akan gantung sepatu.
Akan tetapi, dengan
torehan 23 piala untuk
United, dan keinginan
kuat untuk menambah
koleksi tersebut, rasanya
masih ada asa tersisa
untuk Scholes.
Yeah, katakan itu kepada
Fulham minggu depan.
Atau kepada segenap rival
United di Liga Inggris.
The Ever-Ginger is still
kicking strong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar